Jumat, 21 Januari 2011

Laporan Praktikum Biomaterial :))

EKSTRAKSI BIOMATERIAL KITIN DARI CANGKANG KEPITING

Fatimatul Karimah; Arindha Reni Pramesti; Miranda Zawazi Ichsan; Nurul Istiqomah; Windi Aprilyanti Putri


 

  1. Tinjauan Pustaka

    Biomaterial adalah segala macam bahan atau material yang berasal dari makhluk hidup atau dibuat dari bahan yang berasal dari makhluk hidup. Istilah biomaterial juga digunakan untuk menyebut semua bahan yang dapat digunakan pada makhluk hidup, terutama manusia. Pengertian "dapat digunakan" disini maksudnya bukan dapat dimakan atau dicerna melainkan dapat digunakan dalam proses fisiologi atau sebagai struktur pengganti dalam system tubuh. Berdasar pengertian ini berarti biomaterial dapat berupa bahan organik, anorganik, bahan alam atau bahan sintetis. Akan tetapi bahan yang diekstrak dari makhluk hidup sering kali tidak dapat langsung digunakan, supaya dapat digunakan harus diolah atau diberi perlakuan tertentu lebih dahulu. Dengan demikian ada bahan dasar hasil ekstraksi ada bahan hasil perlakuan. Sumber atau asal biomaterial disebut biosource, sedang bahan yang diekstrak dari biosource disebut biosample.

Dalam praktikum ini yang dimaksud dengan biomaterial adalah bahan organik berupa kitin dan berasal dari cangkang kepiting atau udang, kedua jenis hewan ini dari Filum Crustacea. Tetapi supaya kitin ini dapat digunakan dalam tubuh harus diubah dulu menjadi kitosan. Dengan demikian dalam acara ini yang disebut biomaterial adalah kitosan, biosample adalah kitin, dan biosaurce adalah kepiting dan udang.

Untuk mencapai kompetensi yang dikehendaki dalam elatihan ini ada beberapa hal yang harus diketahui yaitu struktur dan komposisi bahan penyusun cangkang Crustacea, kimia kitin dan kitosan, cara ekstrasi kitin, pengubahan kitin menjadi kitosan, pengujian spesifikasi kitosan, sumber kitin lainnya. Mari kita mulai dari yang pertama, tentang cangkang Crustacea.


 


 

¨ Struktur Dan Komposisi Cangkang Crustacea

    Secara umum integument Crustacea tersusun dari lima lapisan, mulai dari lapisan terluar kemudian ke dalam adalah sebagai berikut : epikutikula, eksokutikula, endokutikula, epidermis, dan ajringan ikat (gambar). Boleh jadi epidermis dan jaringan ikat di bawahnya dianggap sebagai satu system lapisan, bila kita beranggapan demikian maka jumlah lapisannya adalah empat. Epikutikula biasanya sangat tipis, Foster dan Howse mengatakan bahwa epikutikula tersusun dari setidaknya lima lapisan yang berbeda. Eksokutikula dan endokutikula tersusun dari kompleks kitin dan protein yang tersusun berlapis-lapis sehingga pori yang berjalan mulai dari lapisan bawah epikutikula sampai lapisan epidermis. Matrik kitin-protein ini fungsinya analog dengan kolagen pada vertebrata, dan sebagaimana kolagen matrik kitin-protein ini juga merupakan tempat penimbunan garam kalsium yang kebanyakan berupa kalsium karbonat. Klasifikasi membuat lapisan kutikula menjadi kuat, dan secara fungsional lebih ekonomis dari pada matriks organik pada Arthropoda lain seperti misalnya pada Insecta (Dall, dkk., 1980). Kandungan dan distribusi garam kalsium di kutikula sangat bergantung pada banyak factor termasuk diantaranya adalah stress (Dall, dkk., 1980).


 


 


 

    


 


 

Gambar 1. Gambaran skematis struktur integument Crustacea, Epk: epikutikula, Esk: ekdokutikula, Enk: andokutikula, Epd: epidermis, Epi: lapisan epithelium, Pen: jaringan ikat, PEE: lapisan pertemuan antara eksokutikula dan endokutikula, Lam: lamina, Sap: salura pori. (digambar ulang dengan penyederhanaan tanpa skala berdasar Dall, dkk.,1990)

Pada jaringan pengikat di bawah epidermis, yaitu suatu lapisan transparan terdapat kromatofor, yaitu sel-sel yang mengandung pigmen didalamnya. Lapisan inilah yang menentukan warna Crustacea. Fungsi warna bermacam-macam tetapi baisanya berhubungan dengan termoregulasi dan penyamaeran. Warna dapat berubah dari gelap atau nyata ke terang atau pucat, perubahan ini terjadi dengan berbagai cara yaitu berubahnya jumlah kromotopor atau jumlah pigmen per sel, juga dapat tanpa mengubah jumlah keduanya yaitu dengan mengatur penyebarannya.

Kita tidak akan membicarakan lebih rinci struktur komposisi cangkang Crustacea ini, dalam hubungannya dengan pelatihan ini dapat diringkas bahwa cangkang Crustacea mengandung :

  1. Protein
  2. Garam kalsium
  3. Kitin
  4. Zat warna astaxantin

Dari keempat bahan diatas semuanya dapat dan telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri, tetapi di sini yang ingin kita cari adalah kitin. Jadi kita harus memisahkan bahan kimia lainnya. Protein dapat dirusak dengan NaOH 5 %, garam kalsium dapat dilarutkan dengan HCl 3 % - 5 %, astaxantin dapat dilarutkan dengan aseton. Astaxantin sebetulnya merupakan zat warna alami yang mahal, tetapi kali ini bukan tujuan kita untuk mengekstarknya. Sekarang kita akan membahas karakter kimia dari kitin dan kitosan.

¨ Kimia Kitin Dan Kitosan

Kitin merupakan mukopolisakarida yang sangat melimpah jumlahnya di alam. Tersusun dari 2-1cetamido-2-deoxy-b-a-glukosa, denga ikatan a-b (1-4). Struktur kimia kitin sangat mirip dengan selulosa (gambar 2)


Perhatikan bahwa struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan sangat mirip, ketiganya berbeda pada posisi atom C2'. Pada selulosa posisi ini diduduki oleh guugs OH, pada kitin oleh gugus NHCOCH3, sedang pada kitosan oleh NH3. Kebanyakan polisakarida yang terdapat di alam seperti selulosa, dekstran, pectin, asam alginate, agar, agarosa, dan karagenan, semuanya bersifat netral atau asam. Tetapi kitin dan kitosan berbeda, polisakarida basa. Selain itu juga memiliki keunikan lain.

Kitin bersifat sangat hidrofobik, tidak larut dalam air dan kebanyakan pelarut organik. Kitin dapat larut dalam hexafluoroisopropanol,heksafluoroaseton, kloroalkohol dalam larutan asam mineral, dan dalam dimetilasetamida yang mengandung 5 % lithium chloride. Hidrolisa kitin dalam asam konsentrasi tinggi akan menghasilkan D-glukoseamin yang relative murni. Kitosan adalah kitin yang mengalami deasetilasi, dapat larut dalam asam asetat, asam format, dan sebagainya.

Khitin merupakan senyawa yang stabil terhadap reaksi kimia, tidak beracun (non toxic) dan bersifat biodegradable. Khitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik), alkohol, serta tidak larut dalam asam maupun alkali encer. Khitin dapat larut dengan proses degradasi menggunakan asam-asam mineral pekat dan asam formiat anhidrous, namun tidak jelas apakah semua jenis khitin dapat larut dalam asam formiat anhidrous (Meyers dan Lee, 1989) Khitin memiliki pengaturan 2,4-trans substituen dalam unit-unit monosakaridanya, dan sangat stabil terhadap umumnya reagensia, termasuk larutan alkali dalam air. Khitosan diketahui sebagai khitin yang tiga dari empat gugus asetilnya dihilangkan. Perlakuan lama terhadap khitin dengan larutan NaOH pekat dan panas menghasilkan deasetilasi yang hampir sempurna tetapi produknya mengalami degradasi. Dari khitin dapat dihasilkan khitosan dengan menghilangkan gugus asetil (CH3-CO) sehingga molekul dapat larut dalam larutan asam, proses ini disebut sebagai deasetilasi, yaitu menghasilkan gugus amina bebas (-NH) agar khitosan memiliki karakteristik sebagai kation. Secara umum derajat deasetilasi untuk khitosan sekitar 60 %, dan sekitar 90 – 100 % untuk khitosan yang mengalami deasetilasi penuh. Harga ini tergantung dari bahan baku khitin yang digunakan dan proses yang dijalankan (Suhardi, 1992).

Khitosan merupakan padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal khitin murni, memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan biofungsional. Khitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai khitin. Ikatan-ikatan amida lebih sulit membuka di bawah kondisi basa daripada gugus-gugus ester. Di bawah kondisi basa yang kuat, gugus asetat yang berdekatan dengan gugus hidroksil cis dapat mengalami N-deasetilasi, tetapi gugus yang trans lebih resistansi (Suhardi, 1992). Derajat deasetilasi pada pembuatan khitosan bervariasi dengan jumlah larutan alkali yang digunakan, waktu reaksi, dan suhu reaksi. Biasanya kualitas produk chitosan dinyatakan dengan besarnya nilai derajad deasetilasi (Muzzarelli,1985 dan Austin,1988).

Manfaat Chitosan dalam bidang medis :

  1. Efektif mempercepat proses epitelisasi, kolagenisasi, menghentikan perdarahan, dan mencegah infeksi.
  2. Chitosan bisa dianggap sebagai obat pelangsing karena jika chitosan terkena asam lambung, senyawa tersebut akan berubah menjadi semacam gel yang dapat membungkus bukan saja molekul kolesterol dalam getah empedu tetapi juga molekul lemak dalam makanan. Kolesterol dan lemak yang terbungkus secara otomatis akan terbuang bersama sistem eliminasi dan eksresi tubuh.
  3. Chitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi, dan bersifat polielektrolit kation terhadap logam berat sehingga dapat menyerap logam berat.
  4. Chitosan memiliki sifat fungisidal (Penghilang jamur).
  5. Chitosan memiliki semua karakter yang diperlukan untuk membuat contact lens yang ideal yaitu kejernihan, stabilitas mekanik, koreksi optic yang cukup, permeable terhadap gas terutama oksigen, kelembaban, dan kompatibilitas imunologi.
  6. Chitosan digunakan dalam drug delivery system.
  7. Dalam bidang bioteknologi, chitosan digunakan untuk media kultur sel hewan secara invitro.
  8. Sebagai bahan antibakteri, chitosan digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Escherisia coli, Fusarium, Alternaria, dan Helminthosporium.
  9. Sebagai antikoagulan darah (antipembekuan darah).
  10. Chitosan digunakan sebagai bahan yang dapat mempercepat pertumbuhan sel kulit pada kasus kerusakan kulit karena terbakar atau luka berbahaya.
  11. Chitosan mengandung N-asetilglukoseamin (NAG) yang dapat ditambahkan pada susu kemasan. NAG ini berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri bifido. Dengan adanya bakteri bifido bisa menghambat tumbuhnya bakteri lainya sehingga tidak membuat kita sakit perut (mencret) jika minum susu.
    1. Tujuan

Tujuan pelatihan ini adalah memberi keterampilan mahasiswa untuk membuat kitosan dari cangkang udang atau keiting yang memenuhi syarat untuk keperluan tubuh manusia.

  1. Kompetensi

    Setelah mengikuti pelatihan ini mahasiswa dapat menyiapkan sediaan kitosan yang dapat larut dalam asam asetat 1 % dan 5 % dengan tingkat kelarutan kasat mata 100 %

  1. Alat dan Bahan
    1. Bahan
      1. Cangkang kepiting 50 gram
      2. NaOH 10 % 500 ml
      3. HCl 3,2 % 500 ml
      4. Aquades 450 ml
      5. Asam asetat 1% dan 5%
      6. Air PDAM
    2. Alat
      1. Baskom plastik
      2. Saringan plastik
      3. Bekker Glass 1000 ml
      4. Bekker Glass 500 ml
      5. Bekker Glass 50 ml
      6. Pengaduk kaca
      7. Timbangan analitik dengan ketelitian 0,01 gram
      8. Kompor listrik
      9. Gelas ukur 250 ml
      10. Kain lap
      11. Tissue
  2. Cara kerja

(Tahap I)

  1. Menyiapkan cangkang (dipotong 50 gram)
  2. Merebus dengan NaOH 10 % = berat/berat

    Cangkang     :     larutan

    1        :    10

    30        :    300 ml

    Larutan NaOH 10 %

    Bekker Glass 500 ml

    50 gram     menjadi 500 ml

    1. air + 50 gram NaOH

    (Selama ±2 jam).

  3. Mencuci dengan air PDAM
  4. Merendam dalam HCl 3,2%. HCl di cairkan dengan Bekker Glass 500 ml (Selama 2 jam).
  5. Mencuci dengan menggunakan air PDAM ±3 kali lalu menggunakan aquades (menghemat aquades).

(Tahap II)

  1. Melarutkan 225 gram NaOH dalam 200 ml air agar bisa menjadi 500 ml (tahap I)
  2. Merebus larutan NaOH dan cangkang kepiting selama 2,5 jam
  3. Mencuci cangkang setelah 2,5 jam dan membuat larutan NaOH 500 ml untuk tahap ke dua
  4. Merebus cangkang kepiting dalam larutan NaOH 500 ml (tahap II)
  5. Mencuci cangkang dengan air PDAM hingga bersih dari NaOH (tidak licin) kemudian mengeringkan dengan cara diangin-anginkan.


 

(Tahap III)

  1. Menimbang cangkang yang telah kering ± 0,15 gram sebanyak 4 kali.
  2. Membuat larutan asam asetat 1% dan 5 %.
  3. Memasukkan 0,15 gram cangkang ke dalam 1% dan 5% asam asetat kemudian diamati (diaduk dengan pengaduk kaca agar lebih cepat larut).
  4. Mengeringkan sisa kitin yang tidak larut lalu menimbang sehingga diketahui jumlah kitosan yang terbentuk dari 50 gram cangkang kepiting.
  1. Hasil Pengamatan

No. 

Tahap  

Hasil 

Waktu 

Gambar 

1. 

pendahuluan 

Cangkang bersih dari bumbu-bumbu.

30 menit 

2.

I 

Cangkang kepiting menjadi lunak dapat dibengkokkan tetapi tidak putus. Warna cangkang menjadi lebih cerah (orange).

4 jam

3.

II 

Cangkang lebih lunak dan ada bagian tipis putih yang memisah dari cangkang keras. Warna lebih memudar. 

2 x 2,5 jam 

4.

III 

Kitosan larut tak sempurna. Kitin mengenyal, larutan asam asetat banyak yang terserap sehingga perlu ditambah larutan asam asetat tiap 10 menit.

± 1 jam


 

  1. Pembahasan

Pada percobaan yang kami lakukan, kami menggunakan cangkang kepiting yang kami peroleh dari sisa menu makanan di Resto Kenari Surabaya. Cangkang yang kami peroleh terlebih dulu dicuci dan direbus, kemudian dikeringkan dengan tujuan menghilangkan bumbu-bumbu yang menempel.

Proses berikutnya yaitu merebus cangkang dengan larutan NaOH 10% selama ± 2 jam dengan tujuan untuk menghilangkan protein dalam cangkang. Setelah 2 jam, cangkang dibilas dengan air PDAM (untuk menghemat penggunaan aquades). Kemudian direndam dengan larutan HCl 3,2% selama 2 jam dengan tujuan untuk menghilangkan mineral dalam cangkang kepiting. Karena cangkang kepiting lebih keras dan tebal disbanding dengan udang, maka penggunaan konsentrasi larutan HCl dan waktu perendaman akan mempengaruhi hasil akhir. Untuk mengetahui perbedaan kimiawi chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dilakukan pengujian secara spektroskopi inframerah dan dibaca dengan garfik maka didapat hasil bahwa kedua chitosan terdapat gugus CO-CH3, NH3+, OH terikat dan NH2 yang tidak begitu kuat dan juga unsur-unsur lain yang berikatan luar. Letak perbedaan hanya pada ikatan rangkap karbon, dimana chitosan kulit kepiting, karbon berikatan dengan nitrogen (C≡ N) sedangkan chitosan kulit udang, karbon berikatan dengan unsur karbon lainnya (C≡C) tetapi karbon pada chitosan kulit udang agak lemah sehingga kadang-kadang tidak terlihat pada grafik. Secara kimiawi perbedaan keduanya adalah pada kandungan kitinnya, kitin pada kulit udang lebih sedikit dibandinngkan dengan kulit kepiting. Kulit udang mengandung 15% - 20% , sedangkan kulit kepiting mengandung kitin 18,70% - 32,20% (Martina, 2008).

Pada proses tersebut, cangkang yang diharapkan telah bersih dari protein dan mineral ternyata masih belum bersih sempurna, hal ini terlihat dari cangkang hanya berubah lunak (sedikit keras). Hal tersebut menunjukkan bahwa mineral dalam cangkang kepiting belum hilang sempurna. Bisa disebabkan oleh kurangnya konsentrasi larutan HCl, waktu perendaman dan penggunaan air PDAM sebagai pembilas setelah proses perebusan dan perendaman sehingga mineral dari air kembali menempel.

Proses berikutnya yaitu perendaman dengan aseton untuk melarutkan astaxantin (zat warna), tetapi karena keterbatasan dana dan waktu maka proses dilanjutkan pada tahap deasetilasi. Deasetilasi yaitu perebusan cangkang dengan larutan NaOH 500 ml selama 2x 2,5 jam, pembilasan pada tiap perebusan menggunakan air PDAM. Pada proses tersebut (deasetilasi), diharapkan akan dihasilkan kitosan. Hasil yang diperoleh yaitu cangkang lebih lunak dan warnanya pudar diasumsikan sudah terbentuk kitosan.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH maka derajat deasetilasinya juga semakin tinggi. Proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) khitin berlangsung dalam kondisi basa karena gugus N-asetil tidak dapat dihilangkan dengan reagensia asam tanpa hidrolisis polisakaridanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH-masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO-sehingga dihasilkan suatu amida yaitu khitosan. Ikatan-ikatan amida lebih sulit membuka di bawah kondisi basa daripada gugus-gugus ester (Rokhati,N, 2006).

Tahap terakhir yaitu melarutkan 0,15 gram kitosan dalam larutan asam asetat 1% dan 5%. Hasil yang diperoleh, kitosan tidak larut sempurna dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan oleh penggunaan air PDAM sebagai pembilas saat proses pelarutan mineral, tidak menggunakan aseton untuk menghilangkan zat warna, penggunaan konsentrasi larutan HCl yang mungkin kurang sesuai jika objek yang digunakan adalah cangkang kepiting. Sehingga dari 50 gram cangkang kepiting yang digunakan diasumsikan terbentuk ± 16,6 gram kitosan.

  1. Kesimpulan

Kitosan tidak larut sempurna dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan oleh penggunaan air PDAM sebagai pembilas saat proses pelarutan mineral, tidak menggunakan aseton untuk menghilangkan zat warna, penggunaan konsentrasi larutan HCl yang mungkin kurang sesuai jika objek yang digunakan adalah cangkang kepiting. Sehingga dari 50 gram cangkang kepiting yang digunakan diasumsikan terbentuk ± 16,6 gram kitosan.

Penggunaan konsentrasi larutan NaOH dan HCl serta lama perebusan dan perendaman disesuaikan dengan jenis crustacea yang digunakan, karena jika kurang tepat akan mempengaruhi hasil akhir.


 

  1. Daftar Pustaka

    Abdullah , Hargono, dan Sumantri, Indro, 2008, Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing,
    Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP Semarang


     

    Restuati, Martina, 2008, Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam Menghambat Pertumbuhan Kapang Aspergillus Flavus, Prosiding Universitas Lampung

    Rokhati,N, 2006,
    Pengaruh Derajat Deasetilasi Khitosan Dari Kulit Udang Terhadap Aplikasinya Sebagai Pengawet Makanan.


     


     


     


     


     


     


     


     


     

0 komentar:

Posting Komentar